Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini disamping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin yang tercaver dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam. Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi. Karena di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah hasanah tidak pernah lelah untuk membicarakannya.
Dalam sebuah diskusi dengan tema Membedah Kontroversi Bid’ah, yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali, di Denpasar, pada bulan Juli 2010, seorang tokoh terlibat dialog cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara itu, seorang tokoh menjelaskan, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah yang shahih. Karena meskipun Rasulullah bersabda:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ. (رواه مسلم).
“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim).
Termyata Rasulullah juga bersabda:
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ. رواه مسلم
“Jarir bin Abdullah al-Bajali berkata, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim).
Dalam hadits pertama, Rasulullah menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi , atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi . Di sisi lain, Rasulullah seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:
عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم.
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah , bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-‘Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam hadits lain diriwayatkan:
عَنْ سَيِّدِنَا عُمَرَ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّاسُ فِي الصَّلاةِ فَقالَ حِيْنَ وَصَلَ إِلَى الصَّفِّ: اللهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً فَلَمَّا قَضَى النَّبِيُّ صَلاَتَهُ قَالَ: (مَنْ صَاحِبُ الْكَلِمَاتِ؟) قَالَ الرَّجُلُ: أَنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَاللهِ مَا أَرَدْتُ بِهَا إِلاَّ الْخَيْرَ قَالَ: (لَقَدْ رَأَيْتُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ فُتِحَتْ لَهُنَّ) قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ. رواه مسلم .
“Umar berkata: “Seorang laki-laki datang pada saat shalat berjamaah didirikan. Setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata: “Allahu akbar kabiran walhamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila”. Setelah Nabi selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya, ya Rasulullah. Demi Allah saya hanya bermaksud baik dengan kalimat itu”. Beliau bersabda: “Sungguh aku telah melihat pintu-pintu langit terbuka menyambut kalimat itu”. Ibn Umar berkata: “Aku belum pernah meninggalkannya sejak mendengarnya.” (HR. Muslim).
وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا». رواه البخاري.
“Rifa’ah bin Rafi’ berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi . Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari).
Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi , yaitu menambah bacaan dzikir dalam iftitah dan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal dan iftitah itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi ), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.
Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi , termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
جَاءَ سَيِّدُنَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى سَيِّدِنَا أَبِيْ بَكْرٍ يَقُوْلُ لَهُ: يَا خَلِيْفَةَ رَسُوْلِ اللهِ أَرَى الْقَتْلَ قَدِ اسْتَحَرَّ فِي الْقُرَّاءِ فَلَوْ جَمَعْتَ الْقُرْآنَ فِي مُصْحَفٍ فَيَقُوْلُ الْخَلِيْفَةُ: كَيْفَ نَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ ؟ فَيَقُوْلُ عُمَرُ: إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ وَلَمْ يَزَلْ بِهِ حَتَّى قَبِلَ فَيَبْعَثَانِ إِلَى زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ ذَلِكَ فَيَقُوْلُ: كَيْفَ تَفْعَلاَنِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُوْلُ اللهِ ؟ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ : إِنَّهُ وَاللهِ خَيْرٌ فَلاَ يَزَالاَنِ بِهِ حَتَّى شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ كَمَا شَرَحَ صَدْرَ أَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا. رواه البخاري.
“Sayidina Umar mendatangi Khalifah Abu Bakar dan berkata: “Wahai Khalifah Rasulullah , saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan para penghafal al-Qur’an, bagaimana kalau Anda menghimpun al-Qur’an dalam satu Mushhaf?” Khalifah menjawab: “Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah ?” Umar berkata: “Demi Allah, ini baik”. Umar terus meyakinkan Abu Bakar, sehingga akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit , dan menyampaikan tentang rencana mereka kepada Zaid. Ia menjawab: “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah ?” Keduanya menjawab: “Demi Allah, ini baik”. Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar dalam rencana ini”. (HR. al-Bukhari).
Umar mengusulkan penghimpunan al-Qur’an dalam satu Mushhaf. Abu Bakar mengatakan, bahwa hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah . Tetapi Umar meyakinkan Abu Bakar, bahwa hal itu tetap baik walaupun belum pernah dilakukan oleh Rasulullah . Dengan demikian, tindakan beliau ini tergolong bid’ah. Dan para ulama sepakat bahwa menghimpun al-Qur’an dalam satu mushhaf hukumnya wajib, meskipun termasuk bid’ah, agar al-Qur’an tetap terpelihara. Oleh karena itu, penghimpunan al-Qur’an ini tergolong bid’ah hasanah yang wajibah. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ : إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ. رواه البخاري.
“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar d berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari).
Rasulullah tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar . Kemudian Umar mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ. رواه البخاري.
“Al-Sa’ib bin Yazid d berkata: “Pada masa Rasulullah , Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.”
Pada masa Rasulullah , Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya. Al-Imam al-Bazzar meriwayatkan:
عَنِ الْوَلِيْدِ بْنِ سَرِيْعٍ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلِي بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ فِي يَوْمِ عِيْدٍ فَسَأَلَهُ قَوْمٌ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالُوْا: يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ مَا تَقُوْلُ فِي الصَّلاةِ يَوْمَ الْعِيْدِ قَبْلَ الصَّلاةِ وَبَعْدَها؟ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِمْ شَيْئًا ثُمَّ جَاءَ قَوْمٌ فَسَأَلُوْا كَمَا سَأَلُوْهُ – الَّذِيْنَ كَانُوْا قَبْلَهُمْ – فَمَا رَدَّ عَلَيْهِمْ فَلَمَّا انْتَهَيْنَا إِلَى الصَّلاةِ وَصَلَّى بِالنَّاسِ فَكَبَّرَ سَبْعًا وَخَمْسًا ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ ثُمَّ نَزَلَ فَرَكِبَ فَقَالُوْا: يَا أَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ هَؤُلاَءِ قَوْمٌ يُصَلُّوْنَ؟ قَالَ: فَمَا عَسَيْتُ أَنْ أَصْنَعَ سَأَلْتُمُوْنِيْ عَنِ السُّنَّةِ؟ إِنَّ النَّبِيَّ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا فَمَنْ شَاءَ فَعَلَ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَ أَتَرَوْنِيْ أَمْنَعُ قَوْمًا يُصَلُّوْنَ فَأَكُوْنَ بِمَنْزِلَةِ مَنْ مَنَعَ عَبْدًا إِذَا صَلَّى. رواه البزار، كما ذكره الحافظ الهيثمي في مجمع الزوائد (٢/٤٣٨).
“Al-Walid bin Sari’ berkata: “Pada suatu hari raya, kami keluar bersama Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib . Lalu beberapa orang dari sahabat beliau menanyakannya tentang melakukan shalat sunat sebelum shalat ’id dan sesudahnya. Tetapi beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang yang menanyakan hal yang sama pada beliau. Dan beliau pun tidak menjawabnya. Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir tujuh kali dan lima kali, kemudian diteruskan dengan khutbah. Setelah turun dari mimbar, beliau menaiki kendaraannya. Kemudian mereka bertanya: “Hai Amirul Mu’minin, mereka melakukan shalat sunnah sesudah shalat ’id!” Beliau menjawab: “Apa yang akan aku lakukan? Kalian bertanya kepadaku tentang sunnah, sesungguhnya Nabi belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘id dan sesudahnya. Tetapi siapa yang mau melakukan, lakukanlah, dan siapa yang mau meninggalkan, tinggalkanlah. Aku tidak akan menghalangi orang yang mau shalat, agar tidak termasuk “orang yang melarang seorang hamba ketika dia mengerjakan shalat”.
Rasul tidak pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘id dan sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukannya pada masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib t, dan ternyata beliau membiarkan dan tidak menegur mereka. Karena apa yang mereka lakukan termasuk bid’ah hasanah, siapa saja boleh melakukannya. Di sini, Sayidina Ali bin Abi Thalib, salah satu Khulafaur Rasyidin, memahami bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah belum tentu salah dan tercela.
Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi . Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha.
Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta prilaku para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam al-Syafi’i berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz 20, hal. 163).
Setelah seorang tokoh memaparkan penjelasan di atas, Ustadz Husni Abadi (HA) mengajukan gugatan dan sanggahan terhadap. Tetapi anehnya ia tidak mampu membantah dalil-dalil yang telah tokoh ajukan. Ia justru mengajukan dalil-dalil lain yang menurut asumsinya menunjukkan tidak adanya bid’ah hasanah. Husni berkata: “Ustadz, dalam soal ibadah kita tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaedah al-ashlu fil-ibadah al-buthlan hatta yadulla al-dalil ‘ala al-‘amal, (hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”.
Mendengar pernyataan Ustadz Husni, seorang tokoh menjawab: “Kaedah yang Anda sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan seandainya kaedah yang Anda sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaedah tersebut tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat bid’ah hasanah. Lalu Anda berargumen dengan kaedah, hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya. Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti, kaedah Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena dalilnya jelas.”
HA berkata: “Ustadz, dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ.
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Seorang tokoh menjawab: “Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang Anda sebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah SWT telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal yang baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul dan perilaku para sahabat.”
HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul . Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Disamping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
Seorang tokoh menjawab: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (prilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy min qaulin au fi’lin au taqrir (segala apa yang datang dari Nabi , baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu ushul fiqih telah kita kenal kaedah, al-‘ibrah bi’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”
HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.”
Seorang tokoh menjawab: “Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja. Sabagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang Anda katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”
HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”
Seorang tokoh menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, menurut hemat kami sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah memerintahkan kita mengikuti Khufaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Berarti Rasulullah memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.”
HA berkata: “Ustadz, kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz berani mengartikan demikian?”
Seorang tokoh menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu.” Demikianlah dialog seorang tokoh dengan Ustadz Husni Abadi, di Denpasar pada akhir Juli 2010 yang lalu.
Kalau kita cermati, orang-orang Wahhabi itu memang tidak pernah jujur dalam berdialog. Karena dalam setiap dialog, mereka hanya membantah sebagian kecil dalil yang diajukan yang menurut asumsi mereka ada celah untuk dibantah. Padahal seandainya ketika dari sekian banyak dalil itu ada satu dalil saja yang tidak dapat dibantah, maka argumentasi yang diajukan sudah dianggap sah, dan sudah barang tentu hukum yang diajukan dapat diterima sebagai produk hukum yang memiliki kebenaran dalil, andaikan orang-orang Wahhabi itu mau bersikap obyektif.
Ada kisah menarik berkaitan dengan bid’ah hasanah yang perlu diceritakan di sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok Pesantren Assunniyah Kencong, Jember. Ali Rahmat bercerita, “Pada pertengahan 2009, kaum Wahhabi mengadakan pengajian di Islamic Center Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh Wahhabi di Indonesia.
Pada waktu itu, seorang tokoh sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul Hamid Umar dan Ustadz Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua tokoh Wahhabi itu sangat agresif menyampaikan ajarannya tentang bid’ah. Setelah diamati, Ustadz Yazid Jawas banyak berbicara tentang bid’ah. Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas, apapun yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah , harus ditinggalkan, karena termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
Di tengah-tengah presentasi tersebut seorang tokoh bertanya kepada Yazid Jawas. “Anda sangat ekstrem dalam membicarakan bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah itu pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang seorang tokoh bertanya, Sayidina Umar bin al-Khaththab memulai tradisi shalat tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah . Sekarang seorang tokoh bertanya, beranikah Anda mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?” Mendengar pertanyaan seorang tokoh, Yazid Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban.
Setelah acara dialog selesai, seorang tokoh menghampiri Yazid Jawas, dan seorang tokoh katakan kepadanya, “Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka dengan ulama kami. Apakah Anda siap?” “Saya tidak siap.” Demikian jawab Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada seorang tokoh tersebut.
Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah tentang Syiah yang diadakan oleh al-Irsyad Jawa Timur di Jember, ada beberapa mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah tersebut, tidak hanya membicarakan Syiah. Tetapi juga membicarakan tentang bid’ah, dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan amaliah kaum Muslimin di Tanah Air.
Di antara pematerinya ada yang bernama Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah hasanah itu tidak ada. Apa saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah , harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid’ah dan akan masuk neraka. Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa dari Jember tadi ada yang bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti yang Anda paparkan barusan, bahwa semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak ada pada masa Rasulullah harus kami tinggalkan, karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa yang disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah ? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ۲/۲٥٤).
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah , para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun.
Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang seorang tokoh bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah .”
Mendengar pertanyaan tersebut Agus ternyata tidak mampu menjawab dan malah bercerita tentang bid’ah hasanah Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini diceritakan oleh teman seorang tokoh, Ishomuddin dan Abdullah Dardum.Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh. Tidak mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi akan menemukan jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Rasulullah melegitimasi amaliah-amaliah baru yang dilakukan oleh para sahabat. Konsep tersebut akan runtuh pula ketika dibenturkan dengan fakta bahwa para sahabat sepeninggal Rasulullah banyak melakukan inovasi kebaikan dalam agama sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif.