Mengenal Taqiyah dalam Ajaran Syiah

  • Bagikan
taqiyyah syiah

Dalam Syiah, istilah taqiyyah berarti mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan sendiri, dalam rangka menyelamatkan diri dari orang yang tidak sepaham dalam akidah dan pemikiran. Al-Mufid, salah satu salah satu tokoh sentral Syiah berkata;

Taqiyyah adalah menyimpan kebenaran dan menyembunyikan ketakinan, serta merahasikannya terhadap orang-orang yang tidak seakidah.

Taqiyyah dalam Syiah bukan sekedar anjuran atau rukhshah, akan tetapi dijadikan sebagai dari rukun-rukun agamanya. Dalam Ushulul-kafi halaman 217 dijelaskan:

Sesungguhnya sembilan dari persepuluh agama berada dalam taqiyyah, barang siapa yang tidak bertaqiyyah berarti tidak beragama.

Ibnu Babawaih al-Qummi juga berkata:

Keyakinan kita tentang taqiyyah adalah wajib, barang siapa yang meninggalkan taqiyyah sama halnya meninggalkan shalat.

Keanehan dalam Taqiyyah Syiah

Dari keterangan ini maka keganjilan taqiyyah dalam Syiah jelas bahwa 1)Syiah menjadikan taqiyyah sebagai rukun agama rukun agama, bukan sebagai rukhshah, 2)Taqiyyah tidak diterapkan untuk menjaga keimanan dari ancaman orang kafir, akan tetapi untuk menyembunyikan keyakinannya dari umat Islam mayoritas, 3) Taqiyyah bukan kebutuhan sesaat, akan tetapi  merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan secara kontinu tanpa batas.

Karena itu kemudian Taqiyyah dijadikan sebagai alat paling ampuh oleh orang-orang Syiah untuk berkelit dan sebagai tameng ketika mereka menemukan penyampaian dan perilaku para imam sangat kontras dengan doktrin-doktrin Syiah. Mereka dengan mudahnya mengatakan bahwa para imam sedang bartaqiyyah .

Contoh Taqiyah Syiah beserta Dalilnya

Ada banyak contoh dari pernyataan para imam yang oleh Syiah selalu diarahkan pada taqiyyah, di antaranya: dalam sejarah sangat jelas dinyatakan bahwa Sayidina Ali tidak sedikitpun menuduh kafir terhadap lawan politiknya, pasukan Sayidina Mu’awiyah. Sikap Sayidina Ali ini juga sangat jelas tertera dalam buku-buku Syiah. Dalam Wasa’ilus-Syiah karya al-‘Amili (Juz XI/62) dinyatakan sebagai berikut:

عن جعفر عن ابيه………..الخ

Namun, oleh tokoh-tokoh Syiah ucapan Sayidina Ali ini dianggap perkataan yang tidak keluar dari lubuk hati dan bukan perkataan ikhlas, beliau sedang menarapkan konsep taqiyyah. Al-Hur al-Amili misalnya, ketika memberi catatan kaki terhadap riwayat ini dalamWasa’ili-Syi’ah (Juz XI/62) berikut:

اقول: هذاـــــــالخ

Contoh lain, bawha di antara hal yang meklum dalam ajaran Syiah adalah diperbolehkannya nikah mut’ah dengan iming-iming keutamaan yang begitu besar. Namun, ternyata riwayat-riwayat yang mengharamkan mut’ah justru bermuara pada riwayatnya Sayidina Ali. Riwayat ini sangat banyak dalam kitab-kitab Ahlussunah dan sebagian kitab standar Syiah. Dalam al-Istibshar, juz 3 hlm. 142 dan at-Tahdzib, juz 7 hlm/ 251 tertera riwayat demikian:

عن علي………الخ

Untuk menyerasikan dua keyakinan yang sangat bertolak belakang ini, maka Syiah setelah ath-Thusi berkata bahwa Syekh ath-Thusi dengan riwayat ini sedang bertaqiyyah.

Lihat, Wasa’ilus-Syi’a. Juz XXI/512.

Dari sekian banyak ajaran Syiah, Taqiyyahlah yang paling mencolok membedakan ideologi Syiah dan Ahlusunah wal Jamaah dalam segi ajaran amaliah. Ibnu Katsir dalam an-Nihayah mengartikan taqiyyah  dengan menyembunyian apa yang ada dalam hati. Akan tetapi, sekte Syiah menafsiri bahwa taqiyyah berarti seseorang yang berkata dan berbuat tidak sebagiaman yang ia yakini guna mencegah jiwa dari apa yang mencelakainya. Seperti halnya bila orang tersebut beragama di tengah-tengah orang yang tidak seagama dengannya. Paham taqiyyah model inilah yang paten wajib ditegakkan bagi personalia penganut ajararan Syiah ketika berinteraksi dengan orang yang tidak sepaham dengan sepaham dengan mereka. Selaras dengan apa yang difatwakan Jawad Mughnuyah (salah satu pembersar mujtahid Syiah komtemporer).

Mengaplikasikan Taqiyyah ala Syiah

Dalam pengaplikasiannya, ulama Syiah dalam kitab as-Syiah fil-mizan, memecah taqiyyah menjadi dua macam. Makhakatiyah, yaitu taqiyyah yang disebabkan karena ketakutan akan adanya bahaya , khususnya dalam bidang akidah mereka. Dan madaratiyyah yang merupakan taqiyyah untuk menjaga perasaan orang yang berbeda dengannya demi terjalin sebuah hubungan yang naik antara kedua belah pihak. Jenis taqiyyah kedua inilah yang sepertinya lenih mendekati pada kata diplomasi, karena kata tersebut mencakup pada prilaku yang luas dan dapat digunakan lebih jauh untuk pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain “bermuka dua”. Mereka menampakkan jati dirinya yang hakiki ketika berhadapan kepada sesame Syiahnya. Dan mengubur dalam-dalam kebusukan ideologi mereka saat berinteraksi dengan golongan yang tidak sepaham dengan mereka. Contohnya kita, Ahlusunah wal Jamaah.

Dalam surah ‘Ali ‘Imraj ayat 28, Allah berfirman: “Wahai orang-orang mukmin, jangan jadikan orang kafir sebagai wali (pemimpin). Barang siapa yang berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah. Kecuali karena (siasat) memelihara diri sari apa yang dilakukan atas mereka.”

Ayat ini merupakan salah satu ayat yang disalah-tafsiri oleh sekte Syiah dan dijadikan tumpuan dasar atas wajibnya taqiyyah. Selain berlandasan pada al-Quran, Syiah dengan beraninya mengatakan bertaqiyyah itu wajiab karena Rasullah pun melakukannya.

Tatkala Rasulullah menjalankan misi dakwahnya secara sembunyi-sembunyi. Di awal turunnya agama Islam, selama tiga tahun, Islam sangat dirahasiakan guna menjaga risalah yang dibawa nabi. Beliau tidak menyebarkanya kepada kaum kafir Quraisy hingga diperintahkan oleh Allah untuk menyebarkan dakwahnya secara terbuka.

Dengan turunnya ayat al-Hijr ayat 94. Tidak cukup itu, mereka juga mengatakan bahwa pembaiatan Sayidina Ali kepada Sayidina Abu Bakar, Umar dan Utsman, serta bermakmumnya Sayidina Ali kepada mereka baik dalam salat berjamaah atau dalam perkara lain, seperti penetapan hokum, akad transaksi dan interaksi-interaksi lain hanyalah sebatas taqiyyah belaka.

Fitnah Syiah Terhadap Mazhab 4

Mereka juga menganggap bahwa pemimpin mazhab empat juga taqiyyah kepada sebagina fatwanya. Imam Abu Hanifah tatkala ia berfatwa akan bolehnya meninggalkan salat dan puasa bagi seorang yang dipaksa. Imam Malik dipaksa untuk menjalankan diplomasi tingkah tinggi dengan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah. Beliau menggunakan surah ‘Ali Imran ayat 28 sebagai pembenaran. Imam asy-Syafii mereka anggap ber-taqiyyah ketika berfatwa terkait dengan seseorang yang bersumpah palsu atas nama Allah karena ada unsur paksaan maka ia tidak perlu membayar kafarat atau denda. Imam al-Ghazali meriwayatkan atas wajibnya melindungi darah kaum muslim meskipun itu berdusta. Dan imam-ima lainnya bisa dibaca di dalam kitab Ushul Madzhab asy-Syiah al-Itsna A’syariyah.

Ini semua bertolak-belakang dengan taqiyyah yang dipaham oleh Ahlusunah wal Jamaah. Ahlusunah wal Jamaah tidak menafikan adanya karena pernah dilakukan oleh Shahabatt Ammar bin Yasir dan Bilal bin Rabbah. Akan tetapi, mereka hanya melakukannya pada kondiri yang sangat mendesak karena disiksa oleh kaum musyrik sehingga turunlah surah an-nahl ayat 106 seperti apa yang dijelaskan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Asbabun-Nuzul. Dan perlu kita garis bawahi bahwa taqiyyah hanya bisa ditolerir ketika sangat mendesak dan takut menimbulkan dharar. Ini hanyalah mustatsnayat dan merupakan rukhshah yang sudah pasti tidak dapat diqiyaskan pada hal lain. Ketetapan ini tidak lain bertujuan agar kita lebih berhati-hati dalam menjalakan syariat Islam. Ajaran suci yang diturunkan  oleh Allah kepada nabinya, Muhammad SAW.

Pada akhirnya, taqiyyah yang dilakukan oleh Syiah hanyalah kemunafikan belaka. Berdusta dengan dalih taqiyyah yang ditujukan untuk menyembunyikan identitas kebusukan akidah mereka yang menyimpang dari al-Quran dan Hadis. Mereka mengganggap taqiyyah merupakan pilar pokok akidah mereka. Syiah juga mengkafirkan setiap individu yang tak bertaqiyyah ketika berinteraksi. Bahkan yang lebih parah, mereka hanya mempraktekan dalam situasi tertentu. Melainkan di setiap waktu dan tempat.

  • Bagikan

Saya bahagia jika Anda menanggapi artikel ini!

%d blogger menyukai ini: