Bersama Mas Sholeh Abd Haq
Di Masjid Darul Muttaqien, Dsn. Ge’ongge’en Desa Tenggu Klampes Bangkalan
Malam Sabtu, 17 J. Tsaniyah 1445 H. | 29 Desember 2023 M.
A. FATHUL MUIN
- Orang yang membaca atau mendengar ayat sajadah dianjurkan sujud tilawah. Adapun orang shalat, dianjurkan sujud tilawah hanya ketika membaca sendiri ayat sajadah, atau ketika menjadi makmum dan imam melakukan sujud tilawah. Bahkan kalau makmum tidak ikut imam dalam melakukan sujud, atau makmum sujud sendiri karena imam membaca ayat sajadah, padahal imam tidak melakukan sujud, maka shalat makmum batal.
Semua ini ketika makmum tahu dan sengaja berbeda dengan imam. Tapi bila makmum tidak tahu kalau imam sujud, tahunya setelah imam sudah mengangkat kepala dari sujud, maka shalat makmum tidak batal, tapi makmum tidak dianjurkan untuk melakukan sujud, melainkan menunggu imam dalam posisi berdiri.
Tapi bila makmum tahu sebelum imam mengangkat kepala, maka makmum harus segera turun ikut sujud. Dan jika ternyata ketika makmum mau sujud dan sebelum sempurna sujud, imam sudah mengangkat kepala, maka makmum harus ikut mengangkat kepala tidak meneruskan sujud.
- Dalam shalat sirriyah (tidak mengeraskan suara) imam dianjurkan melakukan sujud tilawah setelah selesai shalat, bahkan ada yang membahas kesunnahan ini juga berlaku dalam shalat jahriyah (mengeraskan suara) jika di masjid jami’ yang besar. Sebab pelaksanaan sujud tilawah ini rentan berakibat para makmum keliru mengira rukuk.
- Orang yang membaca ayat sajadah, ketika sudah sampai minimal rukuk baru sadar bahwa dirinya dianjurkan sujud tilawah, maka tidak boleh melakukan sujud tilawah, karena sudah terlewat tempat dianjurkannya. Sama halnya dengan orang yang turun hendak melakukan sujud, namun setelah sampai batas rukuk dirubah menjadi rukuk, maka tidak cukup sebagai rukuk. Sehingga harusnya diteruskan sesuai niat awal.
- Rukun sujud tilawah bagi orang di luar shalat ada empat, pertama niat sujud tilawah, kedua takbiratul ihram, ketiga sujud satu kali seperti sujud shalat pada biasanya, keempat ucapkan salam. Dan dianjurkan membaca doa berikut ketika sujud;
سجد وجهي للذي خلقه وصوره وشق سمعه وبصره بحوله وقوته فتبارك الله أحسن الخالقين.
Sedangkan orang yang shalat cukup dengan niat dan melakukan sujud, tanpa takbiratul ihram (tapi tetap takbir intiqal) dan tanpa salam.
- Tidak boleh membaca ayat sajadah dengan niatan untuk melakukan sujud tilawah saja saat shalat atau saat waktu yang dimakruhkan shalat, dan shalatnya dianggap batal. Berbeda kalau memiliki tujuan lain, maka boleh bahkan tidak makruh.
- Tidak boleh mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan sujud tanpa ada sebab yang menganjurkan sujud, meski sujud tersebut dilakukan setelah shalat. Sedangkan praktek sujud yang biasa dilakukan orang awam di depan guru, merupakan perbuatan haram.
- Niat memutus, menggantungkan atau bimbang dalam memutus, bisa membatalkan shalat, baik shalat fardlu maupun sunnah. Berbeda dengan puasa dan i’tikaf yang tidak batal meski ada niatan memutus.
B. IHYA’ ULUMIDDIN
- Ilmu fikih (cara mengatur makhluq) pada awalnya memang bukan bagian dari agama, namun membantu dalam menyempurnakan agama. Satu contoh misalnya, haji tidak mungkin terlaksana tanpa ada petugas yang menjaga dari gangguan di perjalanan, maka haji satu hal, melalui jalan dalam melaksanakan haji hal kedua, penjagaan jalan hal ketiga, dan tahu tata cara menjaga merupakan hal keempat. Maka yang bagian agama pada dasarnya adalah haji, yang lain kemudian masuk karena membantu pelaksanaan haji. Maka ilmu fikih juga demikian, karena sebenarnya fikih hanyalah pengetahuan tentang cara mengatur dan menjaga ummat.
Bukti bahwa ilmu fikih sekedar berfungsi sebagaimana disebut, adalah hadis yang artinya;
“Tidak akan berfatwa kecuali tiga orang, pemimpin, orang yang disuruh (pemimpin) atau orang yang memaksakan diri”.
Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin tertinggi, sedangkan yang diperintah adalah wakilnya yang dipasrahi bidang fatwa, sedangkan orang yang memaksakan diri adalah orang selain yang dua, yang mengambil tugas tersebut tanpa dibutuhkan. Padahal para sahabat dulu sangat menghindari untuk berfatwa, sampai-sampai masing-masing saling menunjuk yang lain ketika dimintai fatwa. Berbeda kalau ditanya seputar ilmu al-quran dan ilmu jalan menuju akhirat, maka para sahabat senantiasa menjawab. Dalam riwayat lain, nabi menyebut orang ketiga ini dengan sebutan orang pamer. Sebab orang yang menyanggupi untuk beratwa, padahal masih ada orang lain, maka berarti tujuannya mencari pangkat atau harta. Sebab fatwa berat tanggungannya.
- Jika ada yang mengisykali bahwa tujuan mencari pangkat atau harta ini hanya dalam pembahasan fikih terkait dengan tindak pidana, putusan sengketa, dan sanksi. Dan tidak berlaku dalam pembahasan terkait ibadah, dan muamalah yang membahas halal haram. Maka perlu difahami bahwa, perbuatan akhirat yang dibahas oleh ahli fikih, maksimal hanya tiga pokok pembahasan saja, yaitu tentang islam, shalat dan zakat, serta halal haram. Dan pembahasan itupun juga hanya terkait dengan hukum di dunia (yang penting sah dan halal) tidak sampai terkait dengan bagaimana perbuatan tersebut bermanfaat kelak di akhirat. Dan jika tiga pembahasan ini saja yang tampak ibadah dan akhirat hanya sebatas hukum dunia, tentu pembahasan fikih yang lain lebih jelas lagi tidak sampai terkait hukum di akhirat.
- Dalam membahas Islam misalnya, fikih hanya membahas masalah sah tidaknya, dan syarat-syaratnya, yang itu sebatas di dalam lisan tidak sampai urusan hati. Bahkan kalau fikih membahas sampai urusan hati, berarti itu sudah keluar dari konteks pembahasan bidang fikih. Terbukti Rasul memecat beberapa sahabat yang tetap membunuh orang kafir yang mengucapkan kalimat tauhid ketika hendak dibunuh. Para sahabat tersebut beralasan bahwa orang kafir yang mengucapkan karena takut pada pedang, bukan tulus dari hati. Namun nabi tetap menegor dan bersabda;
“Memang sudah kamu belah dadanya?”.
Karenanya secara fikih, pasti dihukumi sah orang yang bersahadat dibawah pedang, tapi ini sebatas hukum dunia. Di akhirat tentu tidak.
Diringkas Oleh: Kadiv. Hukum PW IASS Bangkalan