Barangkali, kita sepakat jika –secara kulit– agama Islam tampil di depan publik dengan wajah yang baik, ramah, lagi menentramkan, seperti yang telah familiar berseliweran di telinga. Islam lahir di dunia dengan membawa ajaran yang lemah-lembut, penuh kasih sayang alias rahmatan lil alamin.
Jadi, bukan hanya sesama umat manusia yang ikut merasakan belas kasih dari Islam, melainkan segenap hal yang ada di penjuru alam.
Namun terkadang, sebagaimana mestinya, suasana tentram agama Islam yang diliputi dengan pernak-pernik keramahan seketika akan berubah memanas layaknya kobaran api yang terus manyala-nyala tatkala peraturan vital yang telah digariskan di dalamnya dilabrak dan dilanggar begitu saja.
Mengatakan ‘Selamat Natal’ kepada umat Nasrani misalkan. Dalam hal ini, agama Islam tidak segan mencerai pemeluknya yang telah sengaja mengatakan ucapan selamat natal pada saat hari natal dengan niatan ikut menyemarakkan hari kelahiran Yesus Kristus atau berkeyakinan bahwa agama Kristen termasuk agama yang benar.
Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini, Islam memberi batasan khusus dalam urusan toleransi beragama. Dalam masalah akidah atau pokok pemikiran ajaran, Islam memperketat pemeluknya dalam bersosial, berinteraksi dan berkomunikasi dengan agama-agama lain. Sebab, demikian ini akan berkonsekuensi murtad alias keluar dari agama Islam apabila sampai dilanggar.
Namun, ada sebagian ulama yang memperbolehkannya, berdasarkan di al-Quran bahkan ada salam atas kelahiran Nabi Isa. Dalam surah al-Maryam ayat 33 Allah berfirman, menggunakan lisan Nabi Isa yang berbunyi: